Kayuagung, Obornusantara.com
Bau busuk korupsi menyengat dari gedung Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) serta penggeledahan yang dilakukan Kejaksaan Negeri (Kejari) OKI pada 20 Agustus 2024 lalu mengungkap temuan mencengangkan sebuah kontainer penuh berkas dan lima stempel toko yang diduga digunakan untuk rekayasa pertanggungjawaban anggaran.
Temuan ini membuka tabir dugaan penyelewengan dana APBD tahun 2022 untuk kegiatan kepemudaan dan olahraga tiga bulan berlalu hingga bulan Oktober ini tidak ada tindaklanjutnya sehingga publik pun menanti tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Namun, alih-alih kejelasan, yang tersaji justru keheningan. Penyelidikan yang menguap, menyisakan tanda tanya besar dan aroma tak sedap kongkalikong.
Penemuan stempel fiktif di kantor Dispora OKI bukanlah hal baru dalam kasus korupsi. Modus ini kerap digunakan untuk membuat laporan fiktif dan menggelapkan dana.
“Stempel fiktif menjadi alat untuk menciptakan transaksi palsu seolah-olah ada pembelian barang atau jasa dari toko tertentu,” ujar Erwanto Jaya SH, Ketua LSM Pemantau Kinerja Pemerintah Indonesia (PKPI) Sumsel. “Padahal, transaksi tersebut tidak pernah terjadi.”
Modus ini, menurut Erwanto, menunjukkan adanya indikasi perencanaan sistematis untuk menilep uang negara. “Pertanyaannya, siapa dalang di balik skenario busuk ini? Dan mengapa Kejari OKI terkesan lamban dalam mengungkapnya?”
Kasi Intel Kejari OKI, Alex Akbar, sempat mengeluarkan pernyataan tegas pasca penggeledahan. Ia berjanji akan memanggil semua pihak yang terlibat dalam perencanaan anggaran Dispora OKI.
“Akan ada skala prioritas terkait siapa yang akan dipanggil,” ujar Alex saat itu, namun janji penyelidikan dengan skala Prioritas hingga saat ini mengambang.
Janji tinggal janji, hingga kini publik tidak mengetahui siapa saja yang telah dipanggil dan diperiksa. Skala prioritas yang dimaksud Alex pun menjadi misteri.
“Kejari OKI harusnya transparan dan memberikan informasi terbaru kepada publik,” tegas Erwanto. “Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum.”
Kejari OKI ketika dikonfirmasi awak media beberapa waktu lalu beralasan masih menunggu hasil audit kerugian negara dari BPK Provinsi Sumsel. Namun, publik patut mempertanyakan, benarkah audit BPK menjadi satu-satunya kendala?
“Audit BPK memang penting, tapi bukan berarti penyelidikan harus berhenti total,” kata Erwanto. “Kejari OKI masih bisa melakukan langkah-langkah lain, misalnya dengan mendalami alur dana dan memeriksa saksi-saksi kunci.”
Erwanto menduga ada upaya tertentu untuk mengendurkan proses hukum. “Jangan-jangan ada pihak yang bermain untuk melindungi pelaku korupsi,” tegasnya.
Senyapnya penyelidikan Kejari OKI menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat. Dugaan kongkalikong dan intervensi dari pihak-pihak berkepentingan menguat.
“Publik berhak tahu perkembangan kasus ini,” tegas Erwanto. “Transparansi dan akuntabilitas adalah prinsip penting dalam penegakan hukum.”
“Kami mendesak Kejari OKI untuk segera menuntaskan kasus ini dan menyeret pelakunya ke pengadilan,” kata Erwanto. “Jangan biarkan kasus ini menguap begitu saja dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.”
Dugaan korupsi di Dispora OKI menjadi ujian bagi Kejari OKI dalam membuktikan komitmennya memberantas korupsi. Publik menanti tindakan tegas, transparan, dan akuntabel agar keadilan dapat ditegakkan.(Theo)